INFOBRAND.ID - Di tengah ketidakpastian ekonomi dan deflasi yang terjadi selama beberapa bulan terakhir, sebanyak 51% kelas menengah merasa tidak mengalami penurunan daya beli, sementara sebesar 49% merasa bahwa daya beli mereka menurun signifikan. Hal itu disampaikan oleh Yuswohady, Managing Partner Inventure dalam Press Conference Indonesia Industry Outlook 2025 dengan tema Indonesia Market Outlook 2025: Kelas Menengah Hancur, Masihkah Bisnis Mantul?
“Ada fakta penurunan daya beli kelas menengah, yakni sebesar 49%. Ini nyaris setengahnya. Tetapi, siapa saja mereka? Mereka adalah aspiring middle class,” kata Yuswohady, Selasa (22/10/2024).
Lebih jauh, riset yang diselenggarakan oleh Inventure dengan melibatkan 450 total responden juga mengungkap lebih dalam tentang kelas menengah yang mengalami penurunan daya beli ini. Dari angka 49% tadi, ternyata terbagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok aspiring middle class dan middle class.
Sebanyak 67% responden dari kelompok aspiring middle class ini melaporkan bahwa daya beli mereka menurun, sedangkan untuk middle class hanya 47%. Artinya, aspiring middle class (kelas menengah bawah) adalah kelompok yang paling rentan terhadap penurunan daya beli dibanding kelas middle class. Ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi saat ini lebih dirasakan oleh kelompok aspiring middle class dibandingkan dengan kelas middle class.
Mereka merasa, tiga faktor utama yang membuat daya beli mereka turun adalah kenaikan harga kebutuhan pokok (85%), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan (52%), serta pendapatan yang stagnan (45%).
Menurut survei Inventur turunnya daya beli kelas menengah memaksa mereka untuk menunda pengeluaran besar yang dianggap berisiko. Komponen tiga teratas pengeluaran yang ditunda adalah sebagai berikut: membeli kendaraan (70%). Responden menilai bahwa di kondisi ekonomi yang kurang baik, mereka tidak berminat membeli atau mengambil cicilan kendaraan.
Kedua adalah membeli/renovasi rumah (68%), dan selanjutnya adalah investasi atau tabungan non-emergency (56%). Sementara itu, dalam survei dengan responden 450 yang terdiri dari kelas menengah dari segmen milenial dan zilenial juga menyoroti hal unik. Sebanyak 4% dari mereka mengaku akan menunda pernikahan di kondisi ekonomi yang tidak pasti.
Hal ini dikarenakan rumah dan mobil merupakan investasi besar yang membutuhkan komitmen finansial jangka panjang. Terlebih pembelian rumah dan mobil seringkali didanai oleh kredit dengan cicilan bertahun-tahun. Alhasil, ketika daya beli anjlok, kelas menengah lebih memilih mengurangi pengeluaran besar ini untuk menjaga kestabilan keuangan mereka.